Lebih dari 26 abad yang silam Buddha Sidharta Gautamana telah menegaskan kepada para siswanya agar selalu menjaga dan memiliki kesadaran atau S4 (sadar setiap saat). Sebab segala sesuatu pada kehidupan seseorang yang menentukan bukan karena ada pengaruh dari luar diri atau makhluk supranatural lainnya. Segala sesuatu yang ingin dicapai dibutuhkan adanya pengorbanan, bukan pengorbanan dengan sesajian maupun materi lainnya, akan tetapi pengorbanan daya usaha dari tindakan yang nyata. Buddha tidak mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan untuk mencapai titik akhir dari cita-cita yang diharapkan lantaran tidak ada suatu usaha besar yang mendahuluinya, dikisahkan sendiri oleh beliau; Bagaimana seorang pengeran harus memutuskan untuk meninggalkan kerajaan dan meninggalkan gelar mahkota kerajaan. Tidak hanya itu saja, sebelum meninggalkan kerajaan di pintu gerbang kota Mara menghadang untuk mencegah dan menggagalkan niatnya untuk menjadi seorang pertapa. Selama 6 tahun melakukan tapa brata yang sangat keras, meksipun 6 tahun bukanlah waktu yang singkat dan meskipun sabahat-sahabatnya meninggalkannya (sekarang dikenal Panca Vagiya) beliau tetap tidak putus asa, kegagalan yang dilakukan bukan menjadi suatu beban yang kemudian menyurutkan semangat namun justru kegagalannya menjadikan pengalaman sebagai guru yang akahirnya membuat beliau semakin lebih memahami akan sesuatu yang sebelumnya belum ketahui. Dengan segenap ketulusan, komitmen dan semangat yang begitu besar (adhitthana) akhirnya apa yang menjadi cita-cita luhurnya tercapai dibulan purnama siddhi dengan ditandainya terealisasinya kesempurnaan menjadi “Sammasambuddha”.
Untuk mencapai tujuan akhir dan keberhasilan tidak juga dapat diukur seberapa besar kapasitas dari tingkat kejeniusan, kepintaran yang dimiliki atau kesempurnaan fisik jasmaninya. Namun yang menentukan dan yang menjadi dasar utama adalah; keyakinan dan kemauan dalam mencoba melakukan usaha nyata. Jika kejeniusan dan kepintaran yang menjadi faktor utama lalu bagaimana salah satu siwa Buddha yang bernama “Culapanthaka”, ia merupakan satu dari semua para siwa Buddha yang memiliki keterbatasan intelegensi yang sangat kurang, bahkan untuk menghafal satu syair dibutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun Culapanthaka memiliki kekurangan dalam tingkat kecerdasan, namun itu tidak membuatkan putus asa dan menyerah. Dengan segenap keyakinan, kesabaran dan semangat juang yang tinggi dalam merenungkan kain putih basah sambil menggosoknya dan sambil mengucapkan “Rajoharanam”, kesungguhan dari usaha yang dilakukan berbuah hasil manis, akhirnya ia mencapai pandangan terang, tidak lagi menjadi seorang dungu.
Jika kesempurnaan fisik jasmani menjadi pengaruh untuk menentukan keberhasilan dan kesusksesan cita-cita, lalu bagaimana dengan sahabat kita penyandang disabilitas A.Faury (31) terlahir tidak sempurna tidak memiliki lengan, jari dan kedua kakinya juga buntung, namun ia berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dosen pengajar mata kuliah hukum pidana disalah satu Universitas Negeri di Sumatera Utara. Albertha Aceng Dany S. yang tidak memiliki kedua tangan namun ia berhasil menjadi seorang gitaris dan sekaligus pernah mendapatkan rekor muri sebagai gitaris terbaik di Indonesia. Apabila direnungkan, yang namanya memainkan gitar umumnya menggunakan tangan, namun itu tidak berlaku buat sahabat kita yang satu ini. Contoh-contoh inspiratif hidup diatas, jika mau dihitung kegagalannya sudah pasti tidak akan terhitung lagi, dan rasa putus asanya juga pasti sangat pahit, namun semua itu dapat mereka lalui, semua itu karena mereka yakin dengan dirinya sendiri bahwa mereka mampu, memiliki komitmen diri, kesabaran dan semangat juang dalam berusaha untuk mencoba melakukan dan melakukan, itulah yang membawanya sampai pada tujuan akhir dari apa yang diharapkannya.
Didalam Buddha Dhamma dijelaskan yang menentukan atas segala harapan dan cita-cita tergantung bagaimana upaya maksimalkan pola pikir positif melalui Ditthadhammikatthapayojana yaitu :
- Uttanasampada yaitu: Komitmen, tanggung jawab, kerja keras, disiplin dan tidak mudah patah semangat pada dirinya masing-masing
- Arakkhanasampada, yaitu: memiliki sikap kewaspadaan atau hati-hati terhadap segala bentuk apa yang sudah diperoleh
- Kalyanamitta, yaitu: memiliki sahabat dan bergaul kepada mereka yang bijaksana
- Samajivita, yaitu: menempuh hidup dengan bijaksana dan menyelaraskan segala sesuatu yang didapat dengan baik (A.N IV.281).
Terlebih dari pada itu untuk mendukung dalam menyempurnakan terhadap apa yang akan dicapai dan yang sudah dicapai maka seseorang hendaknya juga harus selalu mengingat bahwa empat Iddhipāda juga memiliki arti penting dalam kehidupan, diantaranya:
- Chanda yaitu merasa puas dan gembira ketika mengerjakan sesuatu atau pekerjaan.
- Viriya yaitu usaha yang bersemangat dalam mengerjakan sesuatu atau pekerjaan.
- Citta yaitu memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika melakukan suatu pekerjaan, tanpa melalaikannya.
- Vimaṁsā yaitu selalu mengevaluasi dan merenungkan atas segala sesuatu yang telah dilakukan. (A.IV.285)
Semoga renungan diatas akan membantu mengingatkan kepada kita semua bahwa hidup tidaklah semudah yang kita banyangkan, namun dengan keyakinan dan ketulasan yang dimunculkan dari dalam diri akan sangat membantu dalam membangkitkan semangat hidup yang baik. Sehingga apapun kondisi dari semua kesulitan yang dihadapi niscaya semuanya akan baik-baik saja.
penyaji Bhikkhu Aggacitto

