“Bangun, jangan lengah, tempuhlah hidup ini dengan benar. Barang siapa menempuh kehidupan dengan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di kehidupan yang akan datang
(Loka Vagga; XII syair 168).
Hidup ini sangat singkat bagaikan setetes embun pagi diujung rumput, seketika lenyap takkala mentari terbit menyinarinya (A.N. 70) demikianlah kebenaran yang disabdakan oleh Buddha Gotama, yang seyogianya perlu direnungkan bahwa keberadaan manusia di dunia ini tak ada yang sangguh bertahan lama kala usia tua, penyakit dan kematian datang melanda. Tak ada yang dapat memberikan jaminan pasti untuk mempertahankan hidup yang abadi, semua yang kita miliki dan yang kita sayangi akan kita tinggalkan tanpa ada yang tersisa. Waspadalah, jangan terlena pada gemerlapnya nafsu indriya karena apa yang diberikan tidak akan pernah memuaskan yang ada hanyalah penderitaan, bagaikan air laut jika diminum tidak akan menghilangkan rasa dahaga.
Setiap manusia normal sudah pasti akan mengalami yang namanya hambatan hidup, keterpurukan, kesusahan dan penderitaan. Pada masa-masa ini ketegaran dan ketahanan hidup akan mengalami dilema apabila ia tidak memiliki pondasi yang kuat. Disinilah kesabaran dan ketenangan seseorang akan ditempa, jika mampu melewati maka apa yang menjadi beban hidup akan menjadi sesuatu yang berarti dalam hidup. Anugrah hidup akan terasa berarti apabila kita tahu cara mensyukurinya, namun hidup akan serasa sia-sia apabila kita tidak tahu cara mensyukurinya.
Seseorang yang menyadari bahwa hidup adalah singkat, ia pasti telah bergegas mempersiapkan yang terbaik dalam hidupnya; melalui cara berkebajikan dengan mengawasi dan menjaga pikiran ucapan maupun perbuatan. Mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang akan muncul ataupun yang telah muncul (Samvara-manokamma) dengan pengembangan metta dan karuna, mengendalikan setiap perkataan dengan penuh kesadaran (samvara-vacikamma); Buddha menjelaskan ada empat kualitas yang menjadikan ucapan baik, yaitu: Subhāsitaṁ uttamamāhu santo apapun yang disampaikan katakanlah tentang kedamaian, Dhammaṁ bhaṇe nādhammaṁ taṁ dutiyaṁ berucaplah berdasarkan nilai-nilai Dhamma bukan adhamma, Piyaṁ bhaṇe nāppiyaṁ taṁ tatiyaṁ berucaplah tentang hal yang menyenangkan bukan sebaliknya, Saccaṁ bhaṇe nālikaṁ taṁ catutthaṁ berucaplah tentang kejujuran tidak berucap penuh kemunafikan ataupun penuh dusta. Tam eva vācaṁ bhāseyya yāyattānaṁ na tāpaye ia seharusnya tidak hanya berbicara atau berucap dengan kata-kata yang baik yang mana tidak akan menyebabkannya tersiksa dan menjadi tidak bahagia. Pare ca na vihiṁseyya sā ve vācā subhāsitā tetapi juga berbicara dengan kata-kata yang tidak melukai perasaan orang lain. (SN 1.8.5. Subhāsitasutta). Selain mengendalikan pikiran dan ucapan, pengendalian pada tindakan-tindakan (samvara-kayakamma) yang dapat membawa keburukan melalui menanamkan moralitas yang baik sangat perlu dilakukan. Dengan terlatih pada pengendalian diri dan mawas diri maka dimungkinkan ia tidak akan terseret pada pendertitaan hidup. Hendaklah kebajikan selalu dilakukan disetiap hembusan nafasnya, artinya melakukan kebajikan menjadi bagian paling utama dari kehidupan, karena kehidupan saat ini dapat terkondisi disebabkan oleh topangan kebajikan yang telah dilakukan, seperti sebuah mobil; ia dapat berjalan ketika bahan bakarnya ada, namun bahan bakar ketika habis maka mobil tersebut akan otomatis berhenti. Sebagus apapun mobilnya ketika tidak bisa berjalan maka mobil tersebut tidak memiliki fungsi dan manfaat apapun.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,
Semoga Semua Makhluk turut berbahagia,
Sadhu…Sadhu…Sadhu…
Oleh : Bhikkhu Aggacitto Thera

